Blogroll

Jumat, 30 Desember 2011

Komunikasi Politik dalam Media Massa

Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku ontologi berjudul "Symphony Komunikasi Politik di Indonesia". Buku tersebut merupakan buku pertama penulis bersama rekan-rekan komunikasi UII 09, yang di launching pada 15 JAnuari 2011. Merupakan kebanggaan kami.

Media massa saat ini seringkali menjadi tunggangan politik. Tidak jarang partai politik bahkan aktor politik mengintervensi konten media untuk kepentingan golongan politiknya. Seperti yang kita sadari bahwa peran Media Massa sangat strategis dalam membentuk opini publik, sekaligus sebagai instrumen kontrol penyelenggaraan pemerintahan. Lalu, apa jadinya jika media massa dikuasai bahkan dimiliki oleh aktor politik? Pertanyaan inilah yang mendasari tulisan saya. Happy Reading.



Jelmaan Aktor Politik sebagai Owner Media Massa
Oleh  Intan Tanjung Sari

Media massa adalah suatu kebutuhan pokok yang kini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pada era informasi saat ini konsumsi berita atau pengetahuan melalui media massa menjadi sangat relevan. Media massa sebagai pilar ke empat demokrasi sebenarnya memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kepentingan rakyat dalam interaksinya dengan pemerintah. Implementasi fungsi ini diwujudkan dengan peran media massa dalam mengontrol kinerja pemerintah sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan seimbang dan tidak terjadi tumpang tindih kepentingan (overlapping of interest). Dengan kata lain media merupakan intermedian yang dapat mewujudkan hak-hak politik warga negara dalam memperoleh informasi apa saja yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan memiliki urgensi dengan kepentingan publik.
Media massa juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Tidak hanya dalam arti tempat bagi masyarakat untuk melihat dirinya, tetapi juga pembentukan watak kultural masyarakat (Siregar, 2006: 241 dalam Sudibyo, 2009: 10). Mengingat pentingnya pengaruh media massa dalam kehidupan masyarakat, maka suatu perusahaan atau organisasi pengelola media sepatutnya memiliki landasan ideal pemberitaan yang selalu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Dapat dicermati bahwa pada praktiknya media massa hingga saat ini tidak memiliki independensi untuk berdiri sendiri tanpa campur tangan pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu, artinya media massa cenderung partisan dan belum sepenuhnya netral. Hal demikian dapat terjadi karena lingkungan internal organisasi media yang belum bisa lepas dari intervensi politik. Terdapat relasi kuasa pemilik modal terhadap output atau produk media itu sendiri.
   Eksistensi suatu perusahaan media massa selalu berkaitan dengan faktor ekonomi yang memungkinkan keberlangsungan proses produksi. Karena itu pemilik modal, penanam saham atau yang disebut dengan komisaris memiliki relasi kuasa atau peran dalam menentukan apakah informasi tersebut akan diperluas ke masyarakat atau tetap tertumpuk di meja redaksi tanpa terpublikasi. Tidak menutup kemungkinan bahwa jajaran komisaris dapat meliputi pengusaha bahkan aktor politik yang memiliki idealisme tersendiri dan menggunakan media sebagai sarana untuk menyalurkan ide-ide atau gagasannya kepada masyarakat.
Lingkungan atau sistem dalam pengelolaan media massa tidak terlepas dari pengaruh politik seperti nilai-nilai, gagasan bahkan tujuan politik yang dimiliki oleh pemodalnya (Freedman, 2008: 1). Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa komunikasi politik yang dilakukan pemilik modal atau komisaris menjadi mudah mengingat kedudukan mereka yang berada pada top management struktur organisasi media. Owner atau pemilik modal dapat dikategorikan sebagai komunikator politik karena mereka memiliki suatu ideologi atau gagasan politik bahkan dapat juga suatu pencitraan diri yang ingin disampaikan pada masyarakat luas. Menurut (Hasrullah, 2010: 60), dalam perspektif panggung politik, komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, khususnya dalam pembentukan opini publik. Dapat dikatakan bahwa pesan yang ditransformasikan media massa kepada audiens memiliki konten dengan tujuan politik tertentu yang dibawa seorang penguasa melalui sebuah organisasi media yang dikendalikannya. Oleh karena itu demokratisasi media menjadi penting untuk diperjuangkan supaya tidak hanya menguntungkan mereka yang memiliki dominasi dan kekuasaan politik.
Sedikit mengingat sejarah media massa di Indonesia pra reformasi, tepatnya sebelum mantan Presiden Soeharto resmi menyatakan pengunduran dirinya pada Mei 1998, kebebasan media dalam menyampaikan informasi sangat terbatas. Pada masa-masa itu pemerintah atau birokrat  memiliki andil yang besar dalam pembentukan regulasi media untuk membatasi ruang geraknya karena dianggap dapat menghambat pembangunan serta mengganggu stabilitas pemerintahan. Hanya beberapa koran atau surat kabar yang dapat bertahan meskipun tak luput juga dari pembredelan dengan mencabut Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) karena kontennya dianggap menentang pemerintahan yang sedang berlangsung.
 Sebelum tahun 1988 dunia penyiaran di Indonesia hanya diwarnai dua lembaga penyiaran publik yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI), meskipun setelahnya juga muncul beberapa televisi swasta seperti Rajawali Citra Televisi (RCTI) pada November 1988, disusul Surya Citra Televisi (SCTV) pada tahun 1989 dan dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1990 berdiri Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Keberadaan ketiga stasiun televisi swasta tersebut juga tidak lepas dari pengaruh keluarga Cendana maupun kerabat dekatnya yang sangat powerfull pada masa itu. RCTI adalah milik Bambang Trihatmojo dan sebagian besar saham TPI dimilikki oleh Siti Hardiyanti Rukmana yang keduanya merupakan putra putri mantan Presiden Soeharto. Sedangkan 80 % saham perusahaan SCTV sendiri dikontrol oleh Henri Pribadi, seorang pengusaha etnis Cina yang memiliki hubungan dekat dengan saudara Soeharto, Sudwikatmono (Mufid, 2005: 53). Data tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu dominasi penguasa telah mampu mengendalikan ranah media hampir secara keseluruhan.
Yang masih menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah pada era reformasi media massa telah bebas dari dominasi aktor politik? Karena mengingat pentingnya pemutihan media massa dari pengaruh kekuasaan pemerintah, aktor politik atau relasi antara keduanya dalam perwujudan demokrasi yang ideal. Sesungguhnya apa yang melanda media saat ini tidak beda jauh dengan era sebelum 1998, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa media massa di Indonesia tidak terlepas dari bayang-bayang kepentingan politik yang dapat menghambat independensi tubuh media massa. Munculnya stasiun televisi swasta atau media massa yang beragam tidak dapat menjadi solusi pembebasan ruang media dari legitimasi aktor politik yang merangkap sebagai pemilik atau owner. Fenomena yang terjadi justru munculnya trend konglomerasi media yaitu kepemilikan beberapa perusahan media oleh seseorang. Misalnya kepemilikan Surya Paloh atas Metro TV serta surat kabar Media Indonesia, dan ANTV serta TVOne yang sahamnya dimiliki oleh Bakrie Group. Kemajemukan media yang ada bukan berarti buruk, hal demikian sangat diperlukan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, tetapi ketika seorang pemilik modal yang mayoritas memiliki peran politik terlalu kuat hal ini akan menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai karena memungkinkan terjadinya dominasi gagasan politik yang sampai ke masyarakat.

 Kenyataan yang terjadi pada organisasi media Indonesia membuat perwujudan media massa yang terbebas dari legitimasi aktor politik hanya menjadi mimpi semata. Media massa saat ini sangat dekat dengan kekuasaan yang hegemoni untuk mewujudkan kepentingan politik seseorang sebagai pemilik modal dan bukan lagi menjadi sarana yang dapat mengakumulasi kepentingan publik. Padahal ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam ketika rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal mulai mengambil alih dan mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media (Mc Chesney, 1997: 29).

Teori Jarum Hipodermik atau Hypodermic Needle Theory berasumsi bahwa selain mempunyai pengaruh yang kuat, pengelola media juga dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding audience. Akibatnya, audience bisa dikelabuhi sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya (Nurudin, 2007: 166). Seperti contoh beberapa waktu lalu, TVOne menyiarkan tentang kebenaran berupa klarifikasi bencana Lumpur Lapindo yang telah terjadi empat tahun terakhir sejak 2006 silam. Terkait dengan pemulihan citra yang dilakukan pemiliknya, dalam hal ini Abu Rizal Bakrie ingin menyampaikan kepada masyarakat tentang peristiwa lumpur dengan frame bencana alam, bukan semata-mata kesalahan pihak PT. Lapindo. Klarifikasi tersebut menghadirkan sekelompok peneliti asal Rusia yang menjelaskan bahwa lumpur Sidoarjo, sebagaimana sebutan TVOne untuk peristiwa tersebut menerangkan keluarnya lumpur setelah proses pengeboran bukan kesalahan karena kelalaian dari petugas. Sebenarnya pihak Lapindo sudah memenuhi Standart Operasional Prosedure (SOP) yang ditetapkan, namun karena adanya pengaruh gempa di Jogja pada Mei 2006 dan terdapat ribuan gunung lumpur yang berada di bawah Pulau Jawa berpotensi kuat untuk memicu luapan lumpur yang begitu dahsyat di daerah Porong, Sidoarjo. Informasi tersebut secara implisit memiliki tujuan pemulihan image komunikator untuk mengembalikan stabilitas kedudukan politiknya di mata masyarakat. Siaran tersebut hanya sebagian kecil dari berbagai contoh tentang pengaruh kekuasaan seorang owner perusahaan media yang berhak untuk memilih atau melakukan filterisasi terhadap peristiwa apa saja yang ingin disampaikan kepada publik.
Pada praktiknya, pemulihan citra positif tersebut memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai suatu instrumen yang dapat dipercaya oleh publik. Dalam (Sudibyo, 2009: 161), Michael Foucault berteori tentang relasi antara kekuasaan dan pengetahuan dimana setiap bentuk kekuasaan, politik, maupun ekonomi akan berusaha memproduksi pengetahuan dan kebenarannya sendiri guna memonopoli tafsir realitas di ruang-ruang perdebatan publik. Sebaliknya, setiap bentuk pengetahuan secara intrinsik senantiasa mengandung dimensi kekuasaan. Pengetahuan tak pelak adalah modal simbolik untuk menuju lingkar kekuasaan, atau untuk meraih keuntungan dari beroperasinya sebuah kekuasaan. Penguasaha dan pejabat “bermasalah” sadar untuk memasuki wilayah pertarungan simbolik (symbolic struggles) dengan cara melibatkan komunitas intelektual-akademisi untuk mendelegitimasi media melalui ruang perdebatan ilmiah. Hingga sekarang media massa belum “sepenuhnya” memiliki idealisme sepenuhnya tanpa campur tangan pihak lain. Demokratisasi media massa tidak akan terealisasi selama konten bernada partisanship masih mendominasi tubuh media itu sendiri. Sedikit mengutip Agus Sudibyo dalam bukunya “Kebebasan Semu” bahwa Diversity of Content tak mungkin terwujud tanpa Diversity of Ownership!


Daftar Pustaka
Freedman, Des (2008). The Politics of  Media Policy. Cambridge, Polity Press.
Hasrullah (2010). Pertarungan Elite dalam Bingkai Media. Yogyakarta, Adil Media.
Mufid, Muhammad (2005). Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Nurudin (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Sudibyo, Agus (2009). Kebebasan Semu. Jakarta, Kompas.

0 komentar:

Posting Komentar